Tiang bendera yang berdiri di Batunadua bukan sekadar benda mati atau pelengkap upacara. Ia adalah saksi bisu dari perjalanan panjang sejarah daerah tersebut, termasuk luka mendalam akibat penjajahan Belanda. Letaknya yang strategis di kawasan Tapanuli Selatan menjadikan Batunadua tak hanya penting secara geografis, tetapi juga memiliki nilai historis tinggi dalam perjuangan lokal melawan kolonialisme.
Menurut berbagai catatan lisan dan dokumen sejarah lokal, tiang bendera itu didirikan di titik yang menandai peristiwa tragis: pembakaran kediaman para raja Batunadua oleh tentara kolonial Belanda. Kejadian ini menandai masa-masa perlawanan rakyat terhadap penjajahan, di mana kerajaan-kerajaan kecil dan tokoh adat di wilayah Batunadua menunjukkan sikap keras kepala dan tidak tunduk begitu saja terhadap kekuasaan asing.
Batunadua, bersama dengan Pijorkoling dan Hutaimbaru, dulunya merupakan pusat pemerintahan dan kekuatan adat yang memiliki struktur sosial tersendiri. Ketiganya memainkan peran penting dalam menjaga kedaulatan wilayah adat dan membentuk identitas masyarakat Tapanuli Selatan. Keberadaan raja-raja dan penguasa lokal di sana menjadikan kawasan ini sebagai salah satu titik penting dalam jejaring politik lokal zaman dahulu.
Ketika Belanda mulai memperluas pengaruhnya ke pedalaman Tapanuli melalui strategi militer dan politik pecah belah, Batunadua menjadi salah satu wilayah yang memberikan perlawanan sengit. Pembakaran rumah para raja oleh Belanda bukan hanya aksi militer, melainkan juga simbol penghancuran kedaulatan dan identitas lokal. Namun, ingatan tentang tragedi ini tidak pernah benar-benar padam dari benak masyarakat.
Untuk mengenang peristiwa tersebut sekaligus menandai titik sejarah penting itu, pada tahun 1976 didirikan sebuah tiang bendera di lokasi yang dianggap sebagai pusat perlawanan. Pendirian tiang ini disahkan dengan tanda tangan Sutan Mangaraja Parlindungan Harahap, tokoh lokal yang dikenal peduli terhadap pelestarian sejarah Batunadua. Ia menginisiasi pembangunan tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa para leluhur dan pejuang setempat.
Pada dekade 1970-an, terutama setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat Batunadua rutin mengadakan upacara bendera di sekitar tiang tersebut. Upacara ini bukan hanya bagian dari perayaan nasional, tetapi juga menjadi ritual lokal yang sarat makna. Di situlah, warga mengingat sejarah panjang perjuangan mereka—baik melawan penjajahan maupun melawan lupa.
Meski kini tiang tersebut mungkin tak lagi ramai diperhatikan generasi muda, ia tetap berdiri sebagai pengingat akan identitas dan harga diri masyarakat Batunadua. Tiang bendera ini telah menjadi simbol perlawanan yang diam, namun kuat dalam mengukir ingatan kolektif sebuah komunitas yang dahulu berdarah-darah mempertahankan martabatnya.
Keberadaan tiang itu juga menjadi jembatan penting antara sejarah lisan dan sejarah tertulis. Banyak warga tua yang masih mengisahkan betapa mengerikannya masa kolonial, dan bagaimana para raja dan tokoh adat mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan tanah mereka dari tangan penjajah. Cerita-cerita tersebut hidup berdampingan dengan tiang bendera, seolah keduanya saling menguatkan makna satu sama lain.
Dari segi arsitektur, tiang bendera Batunadua mungkin tak mencolok atau mewah. Namun, nilainya jauh melampaui bentuk fisiknya. Ia adalah monumen kecil dari perjuangan besar. Sejumlah upaya telah dilakukan oleh pemerhati sejarah lokal agar keberadaan tiang ini tak dilupakan, termasuk pengusulan pemugaran dan penambahan papan informasi sejarah.
Batunadua sendiri telah berkembang sebagai bagian dari Kota Padangsidimpuan, namun jejak sejarahnya tetap hidup di hati masyarakat. Banyak generasi tua berharap agar nilai-nilai perjuangan yang diwakili oleh tiang bendera itu dapat diwariskan kepada anak-anak muda melalui pendidikan sejarah lokal yang lebih terstruktur dan bermakna.
Sebagian tokoh masyarakat dan budayawan lokal bahkan pernah menyarankan agar tiang bendera tersebut dijadikan cagar budaya, lengkap dengan narasi sejarah yang menjelaskan latar belakang pendiriannya. Dengan demikian, masyarakat luas, termasuk para pelajar dan peneliti, dapat mempelajari makna terdalam dari monumen sederhana tersebut.
Selain sebagai penanda sejarah, tiang bendera Batunadua juga mencerminkan keberanian masyarakat dalam merebut dan merawat kemerdekaan. Ia adalah titik temu antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang harus terus diisi dengan kesadaran sejarah.
Di tengah derasnya arus modernisasi, keberadaan simbol-simbol sejarah lokal seperti ini menjadi sangat penting. Ia memberikan konteks atas siapa kita hari ini, dan bagaimana kita sampai ke titik ini sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Sejarah Batunadua, sebagaimana direpresentasikan oleh tiang bendera itu, menunjukkan bahwa perjuangan melawan penjajahan tidak hanya terjadi di kota-kota besar atau medan perang besar, tetapi juga di kampung-kampung kecil yang mungkin luput dari catatan sejarah nasional. Namun justru dari sanalah semangat sejati kemerdekaan lahir.
Menjaga dan merawat tiang bendera Batunadua bukan sekadar urusan pelestarian benda, melainkan menjaga jiwa perjuangan dan harga diri sebuah komunitas. Tiang itu adalah suara diam dari masa lalu yang masih ingin didengar.
Dalam upaya memperkuat identitas lokal dan kesadaran sejarah, tiang bendera Batunadua semestinya menjadi titik tolak pembangunan narasi sejarah yang lebih inklusif, yang menghargai setiap sumbangan kecil dari wilayah-wilayah pinggiran terhadap kemerdekaan bangsa ini.
Tiang itu telah berdiri melewati zaman. Ia menunggu kita untuk terus mengingat, menjaga, dan menceritakan ulang kisahnya—agar generasi berikutnya tahu, bahwa di Batunadua, ada harga yang pernah dibayar demi sebuah kemerdekaan.
Tags
sejarah