Sebuah poster propaganda era kolonial yang terbit pada masa perang kemerdekaan Indonesia menampilkan narasi visual yang sangat kontras dan penuh muatan ideologis. Poster tersebut menggambarkan dua bendera: bendera Merah-Putih-Biru milik Belanda yang diklaim membawa “Orde dan Kemakmuran”, serta bendera Merah-Putih Indonesia yang dituduh membawa “Teror dan Kemiskinan”. Propaganda ini merupakan bagian dari upaya Belanda untuk merebut kembali pengaruhnya di Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Dalam ilustrasi tersebut, Belanda menempatkan dirinya sebagai pelindung peradaban melalui simbolisasi ketenangan, kemakmuran, dan ketertiban di bawah bendera kolonial mereka. Sementara itu, bendera Merah-Putih yang diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan digambarkan berdampingan dengan sosok karikatural bertuliskan “JAPAN”, mengisyaratkan bahwa kemerdekaan Indonesia tak lebih dari warisan kekerasan dan brutalitas pendudukan Jepang.
Uniknya, narasi yang digunakan dalam poster ini ternyata masih diwarisi oleh sebagian kalangan hingga hari ini. Sebagian elit maupun segelintir masyarakat yang skeptis terhadap nasionalisme Indonesia kadang meminjam retorika yang serupa—menyalahkan para pejuang kemerdekaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekacauan pasca-1945, sembari meromantisasi “stabilitas” masa kolonial.
Poster ini memperlihatkan bagaimana kolonialisme tak hanya dilakukan melalui senjata, tetapi juga melalui manipulasi persepsi. Narasi “ketertiban dan kemakmuran” yang disebarkan oleh Belanda bukan semata gambaran objektif, tetapi propaganda yang secara halus menyudutkan aspirasi rakyat Indonesia yang sedang bangkit dari penjajahan. Visualisasi orang-orang dengan wajah menyeramkan, warna kulit eksotis yang dikarikaturkan, serta latar ledakan menunjukkan teknik propaganda khas Eropa yang menjelekkan lawan melalui stereotip rasis.
Di bagian bawah poster, terlihat seorang petani dengan kerbau di bawah bendera Belanda, menggambarkan kehidupan yang “tenang dan makmur” di bawah kolonialisme. Ini adalah bentuk glorifikasi yang jelas menutupi eksploitasi ekonomi dan sosial yang dialami oleh rakyat Indonesia di bawah pemerintahan kolonial. Petani digambarkan tunduk dan tenang, seolah-olah Belanda adalah penjaga alam dan tradisi, padahal realitasnya penuh ketidakadilan struktural.
Penggunaan simbol ledakan dan wajah bertaring pada sosok bertuliskan “Japan” menyiratkan trauma pasca pendudukan Jepang, yang memang meninggalkan luka dalam. Namun, propaganda ini dengan sengaja mengabaikan bahwa pendudukan Jepang juga membangkitkan kesadaran politik rakyat Indonesia, serta membuka jalan menuju revolusi kemerdekaan.
Poster ini diproduksi oleh Stichting “Indië in Nood”, sebuah lembaga propaganda Belanda pasca-Perang Dunia II yang bertujuan mempertahankan klaim kedaulatan atas Hindia Belanda. Dalam konteks waktu, sekitar 1946-1948, propaganda semacam ini disebarkan luas untuk mempengaruhi opini publik di Belanda dan negara-negara sekutu agar mendukung “polisi militer” Belanda di Indonesia.
Yang menarik, beberapa politisi dan sejarawan konservatif di masa kini masih menggunakan narasi bahwa kemerdekaan Indonesia lahir dari kekacauan, bukan perjuangan. Mereka tanpa sadar mengadopsi logika kolonial yang menganggap rakyat belum “siap merdeka”, padahal poster ini jelas-jelas merupakan bentuk penyangkalan atas hak menentukan nasib sendiri.
Poster ini tidak hanya menggambarkan perjuangan propaganda di masa lalu, tetapi juga menunjukkan betapa warisan kolonialisme kultural masih tersisa dalam wacana-wacana kontemporer. Labelisasi nasionalisme sebagai pemicu kekacauan dan glorifikasi stabilitas kolonial masih muncul dalam berbagai forum akademik, politik, maupun media.
Dalam konteks sejarah visual, poster ini adalah bukti bahwa Belanda menggunakan seni dan desain grafis sebagai senjata politik. Pilihan warna, ekspresi tokoh, dan kontras antara dua dunia yang digambarkan sangat strategis dan bersifat persuasif. Ini merupakan bentuk “soft power” kolonial dalam menggiring opini massa.
Meski demikian, tidak sedikit pula yang justru melihat poster ini sebagai bumerang bagi kolonialisme. Kesadaran akan manipulasi informasi ini menjadi pelajaran penting bahwa narasi sejarah harus dikritisi, tidak ditelan mentah. Generasi muda perlu mengenal propaganda semacam ini untuk bisa memahami bagaimana opini publik dibentuk oleh kekuasaan.
Sebagai artefak sejarah, poster ini kini menjadi koleksi penting di lembaga arsip seperti NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie). Keberadaannya menjadi pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya melawan senjata, tetapi juga melawan narasi yang membatasi kebebasan berpikir dan martabat bangsa.
Di Indonesia sendiri, poster ini kerap dijadikan bahan kajian di kelas sejarah atau diskusi dekolonisasi. Banyak yang terkejut bahwa propaganda semacam ini pernah disebarkan untuk menyudutkan para pejuang, termasuk tokoh-tokoh besar seperti Soekarno dan Hatta, yang dilabeli sebagai pelayan Jepang oleh propaganda semacam ini.
Wacana bahwa nasionalisme Indonesia hanyalah “warisan Jepang” jelas menyesatkan dan merupakan bagian dari strategi Belanda untuk menihilkan legitimasi revolusi. Hal ini mirip dengan wacana modern yang menuduh aktivisme hari ini sebagai hasil “hasutan asing”, padahal semangat merdeka berasal dari kesadaran kolektif rakyat sendiri.
Penolakan terhadap propaganda ini juga tercermin dalam berbagai pernyataan politik dan kebudayaan di masa revolusi. Rakyat Indonesia tahu benar bahwa di bawah bendera Belanda mereka hanya menjadi obyek eksploitasi. Justru kemerdekaan membuka jalan bagi kedaulatan ekonomi, budaya, dan politik, meski prosesnya tidak mudah.
Akhirnya, poster ini menjadi bukti betapa beratnya perjuangan naratif yang harus dilalui Indonesia. Ia bukan sekadar gambar, melainkan jejak dari konflik ideologi, kepentingan, dan masa depan. Semakin penting bagi kita hari ini untuk menelusuri, memahami, dan membongkar propaganda semacam ini agar tidak terwariskan secara tak sadar di tengah masyarakat.
Warisan propaganda kolonial seperti yang tampak dalam poster ini bisa menimbulkan ketimpangan cara pandang terhadap sejarah bangsa sendiri. Maka, kritik terhadap warisan semacam ini penting untuk terus digaungkan, agar kita tidak jatuh pada perangkap sejarah yang diproduksi oleh pihak yang ingin menghapus makna sejati kemerdekaan.