Taiz, kota ketiga terbesar di Yaman, memiliki sejarah panjang yang sarat dengan peran politik, budaya, dan militer. Letaknya yang strategis di dataran tinggi barat daya menjadikannya salah satu pusat peradaban di Yaman sejak abad pertengahan. Di masa Dinasti Rasulid pada abad ke-13 hingga ke-15, Taiz pernah menjadi ibu kota kerajaan yang berpengaruh di Semenanjung Arab bagian selatan. Kota ini berkembang sebagai pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan budaya yang menghubungkan Laut Merah dengan dataran tinggi Yaman.
Memasuki abad ke-20, Taiz tetap memegang peran penting dalam dinamika politik Yaman. Pada era Kesultanan Mutawakkil di Yaman Utara, Taiz dijadikan salah satu kota administratif yang berpengaruh selain Sanaa. Setelah revolusi 1962 yang menggulingkan kekuasaan imam, Taiz menjadi salah satu basis utama revolusioner yang mendorong pembentukan Republik Arab Yaman atau yang dikenal sebagai Yaman Utara.
Namun, posisi Taiz tidak pernah sederhana. Ketika Yaman Selatan berdiri sebagai Republik Demokratik Rakyat Yaman dengan pusat di Aden, muncul ketegangan identitas politik di Taiz. Kedekatannya dengan Aden membuat sebagian kalangan menilai Taiz lebih cocok bergabung dengan Yaman Selatan yang lebih progresif, sementara yang lain tetap setia pada struktur negara Yaman Utara. Pergulatan identitas ini membentuk lapisan politik yang rumit hingga dekade 1970-an dan 1980-an.
Aspirasi untuk mendirikan Republik Taiz pernah mencuat dalam berbagai wacana, terutama pada masa-masa awal perpecahan Yaman. Hal ini didorong oleh fakta bahwa Taiz memiliki basis budaya dan politik yang berbeda dengan Sanaa di utara maupun Aden di selatan. Kota ini dikenal sebagai pusat intelektual, pergerakan demokrasi, dan kekuatan sipil yang sering kali berbeda arah dengan elit penguasa baik di Yaman Utara maupun Selatan.
Meski gagasan Republik Taiz tidak pernah terealisasi, aspirasi itu mencerminkan kekecewaan sebagian masyarakat terhadap dominasi elit politik dari luar Taiz. Kota ini dianggap terlalu besar untuk hanya menjadi pelengkap, namun terlalu terjebak dalam konflik nasional untuk berdiri sendiri. Aspirasi itu pun meredup setelah unifikasi Yaman pada 1990, meski sempat kembali bergema ketika perang saudara pecah setelah 2014.
Peran Taiz semakin menonjol setelah pecahnya konflik Yaman modern. Sejak 2015, kota ini menjadi salah satu garis depan dalam perang antara pasukan pemerintah yang didukung koalisi Arab melawan milisi Houthi. Taiz mengalami pengepungan brutal yang berlangsung bertahun-tahun, menyebabkan penderitaan besar bagi warganya. Infrastruktur hancur, ribuan warga tewas, dan jutaan lainnya hidup dalam kondisi kemanusiaan yang memprihatinkan.
Dalam dinamika perang itu, muncul tokoh seperti Tareq Saleh, keponakan mendiang Presiden Ali Abdullah Saleh, yang memainkan peran besar di pantai barat. Setelah pecah konflik Desember 2017, Tareq bergerak ke Aden dan menghimpun kekuatan baru. Dengan dukungan Uni Emirat Arab, ia membentuk pasukan yang dikenal dengan berbagai nama seperti Pasukan Penjaga Republik (Garda Republik), Pasukan Nasional, hingga Pasukan Gabungan.
Pada Januari 2017, pasukan pemerintah Yaman berhasil merebut kembali pelabuhan strategis Al-Mokha dari tangan Houthi. Operasi ini menandai salah satu titik balik dalam konflik di pantai barat, meski pertempuran di wilayah sekitar masih berlanjut. Tareq Saleh kemudian mengambil bagian penting dalam konsolidasi kekuatan militer di sepanjang pantai Laut Merah, termasuk di sekitar Bab al-Mandeb.
Dukungan militer dari koalisi, terutama UEA, menjadikan pasukan Tareq sebagai salah satu kekuatan yang disegani. Pada April 2018, pasukannya bersama Brigada Al-Amaliqa dan pasukan perlawanan Tihama melancarkan operasi besar yang didukung serangan udara UEA untuk menguasai Al-Mokha, Bab al-Mandeb, dan sebagian wilayah pesisir Hudaydah.
Meski mencatat keberhasilan militer, pasukan Tareq juga menghadapi dinamika politik yang rumit. Pada Maret 2021, mereka membentuk kantor politik untuk mempertegas posisi sebagai kekuatan nasional yang bukan sekadar perpanjangan tangan pihak luar. Namun, langkah ini menimbulkan polemik, terutama terkait dengan hubungan mereka dengan pemerintah sah Yaman dan kelompok lain di selatan. Al Mokha menjadi semacam 'negara mini' yang dijalankan Tareq dan pasukannya.
Kekuatan militer Tareq sempat goyah pada November 2021 ketika pasukan gabungan menarik diri dari bagian selatan Hudaydah. Houthi dengan cepat mengisi kekosongan itu, sementara pemerintah Yaman menegaskan bahwa keputusan itu bukan hasil koordinasi dengan mereka. Peristiwa ini memperlihatkan betapa rapuhnya aliansi militer di Yaman.
Puncaknya, meski dianggap menyerahkan Hudaydah ke Houthi, Tareq Saleh terpilih sebagai anggota Dewan Kepemimpinan Presiden pada April 2022, menandakan pengakuan resmi terhadap kiprahnya dalam dinamika politik dan militer Yaman. Kehadirannya memperkuat representasi Taiz dan pantai barat dalam struktur pemerintahan pasca-Perang.
Sementara itu, Taiz tetap menjadi simbol penderitaan sekaligus perlawanan. Pameran "Museum Memori" yang digelar di kota ini menampilkan kisah-kisah getir warganya selama satu dekade pengepungan Houthi. Lukisan, foto arsip, dan karya seni rupa menjadi saksi bisu tragedi yang menimpa kota, sekaligus pernyataan bahwa masyarakat Taiz menolak dilupakan.
Pameran ini juga berfungsi sebagai upaya keadilan transisional. Dengan mendokumentasikan kejahatan perang, masyarakat berharap pelaku tidak lolos dari hukuman. Para penggiat budaya dan HAM di Taiz menekankan bahwa ingatan kolektif adalah kunci untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.
Dalam wawancara yang ditampilkan, tokoh-tokoh seperti Mokhtar Al-Murairi, Tawfiq Al-Hamidi, dan Abdullah Al-Harazi menekankan pentingnya menjaga sejarah Taiz. Mereka melihat pameran ini bukan hanya catatan penderitaan, tetapi juga bukti ketahanan warga yang terus bertahan meski dihantam perang.
Sejarah panjang Taiz menunjukkan betapa kota ini selalu berada di jantung perubahan Yaman. Dari pusat kerajaan Rasulid, basis revolusi republik, hingga medan pertempuran modern, Taiz tetap memainkan peran vital. Aspirasi untuk mendirikan Republik Taiz mungkin tinggal kenangan, tetapi semangat otonomi dan kebebasan kota ini tak pernah padam.
Kini, di tengah upaya rekonsiliasi Yaman, Taiz tetap membawa luka mendalam sekaligus harapan. Kota ini menuntut pengakuan atas pengorbanannya dan ruang lebih besar dalam politik nasional. Jika suara Taiz terus diabaikan, potensi aspirasi lama untuk menentukan jalan sendiri bisa kembali mencuat.
Perjalanan panjang Taiz adalah cermin dari Yaman itu sendiri: sebuah negeri yang selalu diguncang konflik, tetapi tak pernah kehilangan harapan untuk bangkit. Kota ini adalah saksi bahwa meski perang memisahkan, sejarah dan perjuangan rakyatnya akan selalu menjadi fondasi masa depan Yaman.
Mengenai Dinasti Rasulid
Dinasti Rasulid adalah sebuah kerajaan yang berkuasa di Yaman antara tahun 1229 hingga 1454 M. Dinasti ini didirikan oleh Umar bin Rasul, seorang gubernur yang diangkat oleh kekhalifahan Ayyubiyah di Yaman. Setelah melemahnya pengaruh Ayyubiyah, Umar bin Rasul mendirikan kekuasaan sendiri dan menjadikan kota Taiz sebagai ibu kota. Dinasti ini kemudian berkembang menjadi salah satu kerajaan paling kuat dan makmur di Yaman sepanjang Abad Pertengahan.
Pada masa kejayaannya, Dinasti Rasulid menguasai hampir seluruh wilayah Yaman, termasuk jalur perdagangan penting yang menghubungkan Laut Merah dengan Laut Arab. Pelabuhan Aden menjadi pusat perdagangan internasional, terutama dalam ekspor kopi, rempah-rempah, dan barang-barang dari India maupun Asia Tenggara. Posisi strategis Yaman menjadikan Rasulid sebagai penguasa yang mampu mengendalikan aliran perdagangan antara Timur dan Barat.
Selain kekuatan militer dan ekonomi, Dinasti Rasulid juga dikenal sebagai pelindung ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Mereka mendirikan banyak madrasah, perpustakaan, dan pusat studi yang menarik ulama serta cendekiawan dari berbagai wilayah Islam. Seni arsitektur Islam juga berkembang pesat, dengan pembangunan masjid, benteng, dan istana yang menjadi saksi kejayaan peradaban Yaman pada masa itu.
Namun, kekuasaan Dinasti Rasulid mulai melemah pada abad ke-15 akibat konflik internal dan perebutan takhta di kalangan keluarga kerajaan. Selain itu, munculnya ancaman eksternal dari suku-suku lokal dan melemahnya kontrol atas jalur perdagangan juga mempercepat kehancuran. Situasi ini dimanfaatkan oleh dinasti-dinasti lain, terutama Tahiriyah, yang akhirnya menggantikan Rasulid pada 1454.
Meskipun runtuh, Dinasti Rasulid meninggalkan warisan penting bagi sejarah Yaman. Mereka bukan hanya memperkuat posisi Yaman dalam perdagangan global, tetapi juga meletakkan fondasi intelektual dan kebudayaan yang masih terasa hingga kini. Banyak peninggalan arsitektur, manuskrip, dan karya seni dari masa Rasulid yang menjadi bukti peradaban cemerlang di jantung Jazirah Arab bagian selatan.
Hubungan dengan India dan Asia Tenggara
Dinasti Rasulid tidak hanya berfokus pada urusan internal Yaman, tetapi juga aktif membangun hubungan diplomatik dan politik dengan kekuatan regional. Sebagai penguasa jalur perdagangan yang penting, Rasulid menyadari bahwa keberlangsungan kerajaannya bergantung pada stabilitas hubungan dengan negara-negara besar di sekitarnya. Karena itu, mereka menjalin kontak intensif dengan Kesultanan Mamluk di Mesir, yang saat itu menjadi kekuatan dominan di dunia Islam.
Hubungan dengan Mamluk terutama terkait dengan perdagangan Laut Merah. Rasulid menguasai pelabuhan Aden, yang menjadi titik transit barang-barang dari India, Asia Tenggara, hingga Afrika Timur, sebelum diteruskan ke Mesir. Bagi Mamluk, kerja sama dengan Rasulid sangat penting untuk memastikan pasokan rempah-rempah dan barang dagangan ke Kairo dan Alexandria. Sebaliknya, Rasulid memperoleh legitimasi politik dan perlindungan dari kemungkinan ancaman eksternal.
Selain Mesir, Dinasti Rasulid juga memiliki hubungan dengan kesultanan di India, khususnya Kesultanan Delhi. Hubungan ini tidak hanya bersifat dagang, tetapi juga budaya dan intelektual. Jalur laut antara Aden dan pelabuhan-pelabuhan India menjadi sangat vital, sehingga Rasulid mampu memperkuat perannya sebagai penghubung antara dunia Islam bagian timur dan barat. Melalui hubungan ini, Yaman juga mendapatkan akses terhadap ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi dari Asia Selatan.
Rasulid juga menjaga hubungan dengan Kesultanan Hormuz di Teluk Persia. Mengingat Hormuz adalah pengendali jalur perdagangan laut di kawasan Teluk, kerja sama ini diperlukan untuk menjamin kelancaran arus barang yang menuju Aden. Diplomasi Rasulid yang luwes membuat kerajaan ini mampu bertahan lebih dari dua abad meski dikepung oleh berbagai kepentingan regional yang saling bersaing.
Hubungan politik dan diplomasi yang dijalin Dinasti Rasulid membuktikan bahwa Yaman kala itu bukan sekadar wilayah pinggiran, melainkan pusat interaksi internasional. Dengan memainkan peran sebagai penghubung perdagangan dan budaya, Rasulid berhasil menjadikan Yaman sebagai aktor penting dalam jaringan politik-ekonomi dunia Islam. Warisan hubungan luar negeri ini menjadi salah satu faktor yang membuat sejarah Rasulid dikenang sebagai masa keemasan Yaman.
Sejarah Kota Mocha
Mocha, atau Al-Mokha, adalah sebuah pelabuhan tua di pesisir Laut Merah yang pernah menjadi pusat perdagangan kopi dunia. Terletak di wilayah barat daya Yaman, kota ini memainkan peran penting dalam menghubungkan dataran tinggi Yaman, Afrika Timur, dan pasar global sejak abad pertengahan hingga awal zaman modern. Namanya kemudian menjadi identik dengan kopi, hingga istilah mocha masih digunakan di seluruh dunia untuk merujuk pada minuman berbasis kopi.
Sejarah Mocha tidak bisa dilepaskan dari peran strategisnya di mulut Laut Merah. Kota ini menjadi gerbang utama jalur laut yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Mesir dan Laut Tengah. Keberadaan Selat Bab al-Mandeb menjadikan Mocha sebagai pelabuhan transit yang vital, terutama bagi perdagangan rempah, kain, dan kopi. Dari sinilah Mocha berkembang menjadi kota kosmopolitan dengan penduduk yang terdiri dari pedagang lokal, Arab, Afrika Timur, hingga Asia Selatan.
Pada puncak kejayaannya, Mocha menjadi pusat perdagangan kopi dunia. Meski kopi ditanam di dataran tinggi Yaman, pasokan terbesar justru datang dari Afrika Timur, khususnya Etiopia. Kopi dari kawasan Harar diimpor melalui pedagang Somalia dari Berbera, kemudian dibawa menyeberangi Teluk Aden menuju Mocha. Dari pelabuhan inilah kopi kemudian diekspor ke Mesir, Turki Utsmani, dan Eropa.
Menurut catatan kolonial Inggris, terutama Captain Haines yang menjabat sebagai administrator Aden pada pertengahan abad ke-19, hingga dua pertiga kopi yang diperdagangkan di Mocha sebenarnya diimpor dari Berbera. Fakta ini menunjukkan betapa eratnya hubungan ekonomi antara Somalia, Etiopia, dan Yaman pada masa itu. Mocha menjadi simpul penting yang menghubungkan produsen kopi di Afrika dengan pasar global.
Pedagang Berbera memainkan peranan dominan dalam rantai pasok ini. Mereka menguasai musim perdagangan dengan kapal-kapal mereka sendiri, mengangkut kopi Etiopia ke Mocha, lalu menjualnya kepada para pembeli internasional. Perdagangan ini tidak hanya memperkaya Berbera, tetapi juga memperkokoh posisi Mocha sebagai pelabuhan utama di Laut Merah bagian selatan.
Namun, posisi Mocha mulai goyah pada abad ke-19. Kehadiran Inggris di Aden sejak 1839 mengubah peta perdagangan regional. Inggris secara bertahap mengalihkan jalur kopi internasional dari Mocha ke Aden, yang lebih modern dan memiliki infrastruktur pelabuhan lebih baik. Dalam waktu singkat, Aden berhasil merebut dominasi perdagangan kopi yang selama berabad-abad dipegang Mocha.
Kejatuhan Mocha juga dipengaruhi oleh perubahan rute perdagangan dunia. Dibukanya Terusan Suez pada 1869 membuat jalur perdagangan semakin terpusat di pelabuhan-pelabuhan modern yang dikuasai kekuatan kolonial. Mocha, yang tidak mampu menyaingi fasilitas Aden atau pelabuhan baru lainnya, lambat laun kehilangan perannya di panggung internasional.
Meski demikian, warisan Mocha tetap hidup dalam budaya kopi dunia. Nama “mocha” menjadi simbol kopi berkualitas tinggi yang berasal dari Yaman dan Etiopia. Bahkan hingga kini, istilah tersebut digunakan secara luas dalam industri kopi, baik untuk menyebut jenis biji kopi maupun variasi minuman berbasis kopi.
Dalam konteks sejarah Yaman, Mocha adalah bukti betapa pentingnya perdagangan laut bagi perkembangan ekonomi dan politik kawasan. Selama berabad-abad, kota ini menjadi jembatan antara dunia Arab dan Afrika Timur, memperkaya budaya dan membentuk identitas maritim Yaman.
Hari ini, Mocha hanya menyisakan bayang-bayang kejayaannya. Kota pelabuhan yang dulu menjadi pusat dunia kini hanyalah kota kecil di pesisir. Namun, jejak sejarahnya sebagai ibu kota kopi dunia tetap abadi, meninggalkan nama yang dikenal di setiap sudut bumi melalui secangkir kopi mocha.
Utsmaniyah di Mocha
Pada masa Dinasti Rasulid (1229–1454), Mocha mulai berkembang sebagai pelabuhan penting di Yaman. Rasulid menjadikan Taiz sebagai ibu kota, namun Mocha dijadikan pintu utama perdagangan laut mereka. Rasulid mengontrol ekspor kopi, rempah, dan kemenyan, sehingga menjadikan Mocha sebagai salah satu simpul dagang internasional di Laut Merah. Hubungan erat dengan Mesir Mamluk dan pedagang India membuat pelabuhan ini semakin ramai dan dikenal luas di dunia Islam.
Setelah kejatuhan Rasulid, Yaman mengalami perebutan kekuasaan hingga akhirnya masuk dalam orbit Kesultanan Utsmani pada abad ke-16. Utsmani menyadari nilai strategis Mocha, baik secara ekonomi maupun militer. Mereka membangun garnisun dan memperkuat pertahanan di pelabuhan ini untuk melindungi jalur perdagangan Laut Merah dari ancaman Portugis yang mulai memasuki Samudra Hindia.
Di bawah Utsmani, Mocha semakin dikenal sebagai pusat perdagangan kopi internasional. Kopi dari Etiopia maupun Yaman diekspor melalui Mocha menuju Istanbul, Kairo, hingga ke kota-kota pelabuhan Eropa. Utsmani menggunakan Mocha sebagai pos utama untuk menjaga kendali atas jalur laut Bab al-Mandeb sekaligus sebagai sumber pendapatan dari pajak perdagangan kopi yang sangat menguntungkan.
Kombinasi antara warisan Rasulid dan pengelolaan Utsmani menjadikan Mocha sebagai “ibu kota kopi dunia” selama berabad-abad. Dominasi itu baru benar-benar berakhir pada abad ke-19, ketika Inggris merebut Aden dan jalur perdagangan global beralih ke pelabuhan modern di bawah kendali kolonial. Namun, masa kejayaan Mocha di bawah Rasulid dan Utsmani tetap menjadi salah satu bab terpenting dalam sejarah ekonomi dan budaya Laut Merah.
Tags
internasional