Dokumen pagang gadai di Minangkabau tidak sekadar lembaran tua yang mencatat transaksi antara dua pihak, melainkan juga menjadi saksi sejarah perkembangan budaya, status sosial, dan tingkat literasi masyarakat dari masa ke masa. Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap betapa kaya dan uniknya bentuk-bentuk tanda tangan dalam surat pagang gadai yang tersimpan sejak pertengahan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Dari cap jempol, lingkaran, tanda silang, hingga nama dalam aksara Arab dan Latin, setiap bentuk menyimpan makna sosial dan historis tersendiri.
Peneliti dari Pusat Riset Naskah, Sastra, dan Tradisi Lisan BRIN, Daratullaila Nasri, menjelaskan bahwa surat pagang gadai bukan hanya dokumen transaksi ekonomi, melainkan juga manifestasi nilai-nilai adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau. Tradisi ini menjadi medium harmoni antara pihak peminjam dan pemberi pinjaman dalam bingkai kesepakatan adat. Kepercayaan dan kehormatan menjadi landasan utama, bahkan sebelum keberadaan hukum formal seperti sekarang.
Menariknya, meskipun sederhana dalam tampilan, surat-surat tersebut menyimpan kompleksitas simbolik lewat bentuk tanda tangan yang digunakan. Bentuk-bentuk seperti silang, lingkaran, kupu-kupu, bahkan simbol-simbol personal menjadi penanda identitas yang berbicara lebih dari sekadar legalitas. Tanda tangan dalam konteks ini adalah ekspresi budaya, bukan sekadar coretan formal. Simbol tersebut mencerminkan posisi sosial, kemampuan baca tulis, bahkan relasi kuasa yang terjadi di masyarakat pada saat itu.
Tanda silang menjadi bentuk tertua yang paling banyak dijumpai dalam dokumen-dokumen era 1800-an. Menurut Daratullaila, bentuk ini lazim digunakan oleh masyarakat awam yang tidak mampu menulis. Simbol ini mewakili persetujuan, dan dalam konteks lokal Minangkabau, juga menunjukkan status sosial sebagai rakyat biasa. Lingkaran dan kupu-kupu pun memiliki konotasi serupa: sederhana namun sah secara adat.
Bentuk lain yang mencuri perhatian adalah cap jempol kiri, yang baru muncul pada awal abad ke-20. Jejak sejarah menunjukkan bahwa penggunaan cap jempol merupakan pengaruh dari sistem administrasi kolonial Inggris di India. Karena rendahnya tingkat literasi, cap jempol dijadikan pengganti tanda tangan. Praktik ini kemudian diadopsi ke Hindia Belanda sebagai bagian dari proses penyeragaman hukum dan dokumen, terutama dalam konteks agraria dan pertanahan.
Cap jempol juga membawa nilai hukum tersendiri. Dalam sistem hukum kolonial, cap jempol diakui sebagai bukti autentik karena sulit dipalsukan. Maka dari itu, dokumen-dokumen pagang gadai yang menggunakan cap jempol menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau mulai beradaptasi dengan sistem hukum baru tanpa meninggalkan akar adat mereka.
Selain simbol sederhana dan cap jempol, terdapat pula tanda tangan dengan nama yang ditulis dalam aksara Arab dan Latin. Ini menjadi cerminan identitas ganda yang tumbuh dari pertemuan tradisi Islam dan sistem kolonial Barat. Penulisan dalam dua aksara ini menunjukkan tingkat literasi yang tinggi serta posisi sosial yang lebih terhormat. Dalam konteks sosial, pemilik tanda tangan seperti ini kemungkinan berasal dari kalangan terdidik atau tokoh agama.
Penulisan nama dalam dua aksara juga menjadi simbol legitimasi ganda. Di satu sisi, aksara Arab menunjukkan ketakwaan dan kejujuran dalam kacamata adat dan agama. Di sisi lain, aksara Latin menyatakan keterlibatan dalam sistem administratif modern, baik dalam urusan hukum, perdagangan, maupun pemerintahan kolonial.
Salah satu bentuk tanda tangan yang paling personal adalah penggunaan simbol unik sebagai penanda identitas. Simbol-simbol ini tidak selalu merepresentasikan huruf atau nama, melainkan desain khas yang hanya dikenali oleh pemilik dan lingkaran sosialnya. Bisa jadi menyerupai logo, simbol spiritual, atau gambar sederhana yang memiliki makna mendalam.
Simbol unik ini memiliki keunggulan karena sulit dipalsukan dan tidak memerlukan kemampuan menulis. Dalam masyarakat yang tingkat literasinya terbatas, simbol seperti ini berfungsi sebagai tanda pengenal yang kuat dan sah dalam hukum adat. Tak jarang pula simbol ini mencerminkan kepribadian, status, atau nilai-nilai yang dianut pemiliknya, seperti keberanian, ketulusan, atau kesetiaan.
Daratullaila mengungkap bahwa dari ratusan naskah pagang gadai yang dikaji, tidak ada satu bentuk tanda tangan yang mendominasi sepenuhnya. Justru keberagaman inilah yang menjadi cermin dari pluralitas masyarakat Minangkabau. Setiap individu membawa latar belakang budaya, pendidikan, dan pengalaman yang berbeda dalam menandatangani perjanjian.
Evolusi tanda tangan ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat adat tidak menolak modernitas secara mutlak. Mereka menyerap elemen-elemen baru dari luar, tetapi tetap menjaga identitas lokal. Inilah bentuk adaptasi budaya yang tidak pasif, melainkan aktif dan selektif. Tradisi Minangkabau membuktikan bahwa lokalitas bisa berjalan beriringan dengan perubahan zaman.
Dokumen pagang gadai menjadi bukti konkret bahwa hukum adat tidak pernah statis. Ia berubah, bernegosiasi, dan menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial-politik. Dari tanda silang hingga nama dalam dua aksara, semuanya adalah bagian dari narasi besar masyarakat yang menolak dilupakan oleh sejarah.
Melalui penelitian ini, BRIN tidak hanya menghidupkan kembali warisan dokumenter Minangkabau, tapi juga membukakan mata kita tentang pentingnya detail dalam memahami masyarakat masa lalu. Sebab di balik tanda kecil di ujung surat, tersimpan jejak panjang tentang siapa mereka, apa yang mereka yakini, dan bagaimana mereka menjalani hidup dalam bingkai adat dan zaman.
Keberagaman bentuk tanda tangan dalam surat pagang gadai adalah jendela kecil yang membuka lanskap besar tradisi Minangkabau. Ia adalah kisah tentang adaptasi, ketahanan, dan kreativitas masyarakat dalam menyikapi arus zaman. Sejarah bukan hanya milik istana dan bangsawan, tetapi juga terekam rapi dalam tiap coretan tangan rakyat biasa.
Tags
sejarah